Tunduknya Freeport dan Kembalinya Wibawa Pemerintah
JAKARTA, KOMPAS.com — PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya bersedia mengubah skema Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dengan demikian, posisi Freeport tidak lagi setara dengan negara, tetapi berada di bawah negara.
Keputusan Freeport tersebut diambil setelah pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 12 Januari 2017 menghentikan ekspor mineral mentah.
Tindakan tegas itu dilakukan pasca-gagalnya perusahaan-perusahaan tambang memenuhi komitmen pembangunan smelter (pengolahan mineral) seperti diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Koordinator Indonesian Community for Energy Research (ICER) Iqbal Tawakal menyampaikan, keberhasilan pemerintah menundukkan Freeport ini melalui Peraturan Menteri ESDM 5/2017 dan 6/2017.
Peraturan Menteri ESDM tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No 1/2017 tentang perubahan keempat atas PP No 23/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan dua peraturan menteri tersebut sebagai upaya dan solusi konkret untuk mengangkat kewibawaan pemerintah serta menjamin pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba.
Penerbitan dua peraturan menteri tersebut juga menjamin dana bagi hasil untuk daerah, keberlangsungan kerja ribuan orang, serta kesempatan Pemerintah Indonesia untuk “mem-BUMN-kan” Freeport Indonesia dan perusahaan tambang asing lainnya dalam kurun waktu 10 tahun.
Menurut dia, penghentian ekspor mineral dari beberapa perusahaan pertambangan karena gagal memenuhi komitmen membangun smelter sebenarnya bukan hanya merugikan pihak perusahaan, melainkan juga merugikan pemerintah.
Sebab, target penerimaan negara gagal tercapai.
“Hendaknya kita bijaksana serta bisa melihat apa-apa saja yang bisa kita dapatkan pasca-implementasi Permen yang merupakan win-win solution bagi pemerintah dan investor,” ujar Iqbal dalam keterangan resminya, Kamis (19/1/2017).
Iqbal melanjutkan, kegagalan pembangunan smelter oleh perusahaan pertambangan di Indonesia disebabkan oleh sikap mereka yang masih setengah hati.
Namun, tidak hanya itu, kegagalan tersebut juga disebabkan ada hal-hal lain yang tidak bisa mereka kontrol, misalnya kebutuhan pasokan listrik yang cukup besar.
Iqbal pun mendorong semua stakeholder pertambangan untuk mendukung kebijakan pemerintah ini. Dia juga mengajak semua stakeholder untuk mendorong DPR segera membahas peraturan yang sejalan dengan aksi pemerintah ini.
“Jangan hanya mengurusi UU mengenai hajat politik saja yang didahului,” kata Iqbal.